Menjaga Keuangan Haji Yang Berkelanjutan

JakselMu.id | Jakarta. – Pengelolaan Keuangan Haji merupakan isu yang terus menjadi perhatian masyarakat. Pada tahun 2023 ini, jumlah umat muslim di Indonesia mencapai 229 juta orang. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 5,3 juta umat Islam di Indonesia yang telah mendaftarkan haji dan kini masuk dalam waiting list keberangkatan haji. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia di atas 40 tahun, dan hanya sedikit sekali yang berusia di bawah 25 tahun. Dengan banyaknya antrian jamaah haji tersebut, maka masa tunggu keberangkatan haji pun menjadi cukup lama.

Berdasarkan estimasi Kemenag, setelah kuota kembali normal di tahun 2023 ini, masa tunggu jamaah haji berkisar 11 tahun hingga 47 tahun. Daerah dengan waktu tunggu paling singkat pada haji adalah Kabupaten Maluku Barat Daya dengan lama 11 tahun.

Sedangkan waktu tunggu terlama adalah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan dengan lama 47 tahun. Adapun untuk calon jamaah haji dari DKI Jakarta, memiliki masa tunggu hingga 28 tahun. Ini menunjukkan isu keberlanjutan keuangan haji merupakan isu yang krusial. Lamanya masa tunggu haji hingga puluhan tahun tentu sangat bergantung pada kesuksesan pengelolaan keuangan haji sepanjang masa tunggu tersebut. Jangan sampai, ketika Allah menakdirkan para calon jamaah haji berumur panjang dan jadwal keberangkatan sudah didapatkan, namun karena pengelolaan yang tidak baik, keuangan haji lebih dulu “bangkrut” dan membuat biaya keberangkatan haji dibebankan sepenuhnya kepada calon jamaah. Oleh karena itu, perlu terus dirumuskan strategi untuk keuangan haji yang berkelanjutan.

Ada beberapa aspek yang cukup relevan untuk memastikan agar keuangan haji senantiasa berkelanjutan.

Pertama, transparansi dan akuntabilitas keuangan haji. Sebelum bicara lebih jauh soal strategi keuangan, aspek penting yang menjadi kewajiban untuk dipenuhi oleh pengelola keuangan haji dalam hal ini BPKH adalah menjaga transparansi dan akuntabilitas atau pertanggungjawaban keuangan haji. Transparansi ini penting agar masyarakat yang menitipkan dananya pada BPKH, atau yang baru akan melakukan penyetoran awal dana haji, mendapatkan ketenangan bahwa dana mereka aman dan tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain selain pembiayaan haji. Dalam konteks ini, BPKH perlu diapresiasi karena dalam konteks transparansi, telah menghadirkan aplikasi Virtual Account yang bisa diakses secara realtime oleh tiap jamaah, dan dalam konteks akuntabilitas, selalu mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK selama 5 tahun terakhir.

Ke depan, transparansi dan akuntabilitas kinerja ini perlu disosialisasikan lebih masif dengan cara yang mudah dimengerti dan diakses oleh masyarakat. Misalnya tidak hanya melalui postingan di berbagai kanal media sosial BPKH maupun laporan koran, namun juga surat cetak yang dikirimkan secara berkala kepada jamaah tunggu, sebagaimana yang umum dilakukan oleh lembaga-lembaga pengelola investasi. Hal ini lantaran asal daerah dan akses tiap jamaah tunggu berbeda-beda, dan mungkin tidak semuanya memiliki atau paham dengan internet dan sosial media.

Kedua, strategi menjaga keberlanjutan dana haji adalah dengan terus meningkatkan capaian nilai manfaat. Perolehan nilai manfaat BPKH saat ini masih berada di kisaran 5-6%, di mana perolehan tersebut sayangnya belum cukup untuk menutupi peningkatan biaya haji yang terus terjadi setiap tahun. Akibatnya, Ongkos peningkatan biaya tersebut banyak dibebankan kepada jamaah berangkat. Misalnya saja di pelaksanaan haji tahun 2023 ini, para jamaah haji harus membayar biaya pelunasan sebesar Rp 23,5 juta, meningkat drastis dari sekitar Rp 15 juta di tahun sebelumnya. Angka Rp 23,5 juta itu pun setelah melalui pembahasan dan Upaya yang panjang di DPR untuk terus menurunkan beban biaya haji bagi para jamaah, di mana sebelumnya Pemerintah berencana membebankan biaya pelunasan Rp 35 juta per jamaah.

Untuk meningkatkan nilai manfaat, maka BPKH harus semakin kreatif dalam memilih instrumen investasi, yang menguntungkan namun tetap aman dan sesuai dengan syariah. Selama ini, sebagian besar investasi BPKH ditempatkan di surat berharga syariah negara dan sukuk, yang tinggi tingkat keamanannya namun cenderung memiliki tingkat pengembalian (return) yang rendah. DPR dalam hal ini Komisi VIII terus mendorong BPKH agar meningkatkan alokasi investasi langsung, baik di dalam negeri, apalagi di luar negeri khususnya di Arab Saudi. Investasi langsung di luar negeri khususnya arab Saudi selain mengejar keuntungan, juga dalam rangka meningkatkan kepastian layanan bagi jamaah haji Indonesia. Misalnya adalah investasi dalam bentuk akomodasi maupun konsumsi. Apalagi berdasarkan visi haji Arab Saudi 2030, porsi kuota haji akan terus meningkat dengan adanya berbagai peningkatan dan pelebaran infrastruktur haji di Saudi, sehingga kebutuhan akan layanan haji akan terus meningkat, dan investasi di bidang tersebut tentu akan menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar.

Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari lembaga Tabung Haji Malaysia yang memiliki portofolio dana haji yang lebih diverse/beragam. Secara umum, alokasi investasi tabungan haji di Malaysia adalah 53% ekuitas, 27% obligasi, 15% real estate, dan 5% investasi lainnya. Meskipun investasi di bidang ekuitas/saham terkesan berisiko, jika pengelolaan dilakukan dengan benar, maka hasil yang didapat juga akan jauh lebih tinggi. Adapun investasi di real estate dilakukan dengan membangun pertokoan, hotel, perkebunan, hingga sektor properti lainnya. Dari bentuk investasi ini, lembaga mendapatkan pendapatan sewa yang terus meningkat setiap tahunnya. Meskipun tidak bisa sepenuhnya disamakan antara kondisi BPKH di Indonesia dengan Tabung Haji di Malaysia, namun tentu banyak pelajaran pelajaran baik yang bisa diambil, termasuk soal investasi, demi peningkatan kualitas pengelolaan keuangan haji di Indonesia. Tentu dengan tetap mengutamakan asas pengelolaan keuangan haji di antaranya prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian

Ketiga, dengan manajemen kelembagaan BPKH yang semakin profesional, maka periu mulai dibahas reformasi kelembagaan keuangan haji. Pada saat ini yang berlaku pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, BPKH hanya memiliki wewenang untuk menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji (Pasal 24). Adapun besaran pengeluaran untuk penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR (Pasal 11). Konsekuensi dari aturan ini adalah, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, sebagai yang menetapkan anggaran haji, cenderung meninggi-ninggikan biaya haji karena mereka mengandalkan BPKH untuk menyediakan dananya. Kasus-kasus mark-up anggaran penyelenggaraan haji tersebut banyak ditemukan oleh Komisi VIII DPR-RI pada saat rapat pembahasan biaya haji bersama dengan Pemerintah, dan meskipun sudah disisir dan diminimalisir sedemikian rupa, diyakini masih banyak komponen anggaran yang tidak efisien.

Inefisiensi biaya penyelenggaraan haji tersebut yang pada tahun 2023 ini misalnya, menjadi landasan utama Fraksi Partai keadilan Sejahtera memutuskan menolak biaya haji yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Adapun BPKH sebagai penyedia dana yang pasti punya concern soal efisiensi biaya haji, tidak memiliki kewenangan untuk turut membahas apalagi menetapkan biayabiaya penyelenggaraan haji. Bahkan dalam konteks sisa dana penyelenggaraan haji tahun berjalan (disebut dana efisiensi), BPKH tidak memiliki kewenangan untuk turut mengaudit, apalagi menagihnya. Pada pembahasan penyelenggaraan haji tahun 2022 baru terungkap bahwa ternyata ada sejumlah dana efisiensi penyelenggaraan haji yang masih berada di kas Kementerian Agama dan belum disetorkan kepada BPKH. Beragam kondisi kurang ideal ini terjadi karena memang seperti itulah desain kelembagaan keuangan haji pada UU 34/2014. Oleh karena itu, kajian seputar reformasi kelembagaan keuangan haji melalui revisi UU 34/2014 patut untuk mulai dibahas, yakni seputar peningkatan kewenangan BPKH dan kewajiban-kewajiban Kementerian Agama.

Keempat, peran serta masyarakat. Keberlanjutan dana haji sangat memerlukan peran serta masyarakat, termasuk dalam hal ini MUI di tingkat Pusat maupun daerah, utamanya dalam konteks pengawasan dan evaluasi. Masyarakat harus terus “berisik” mengawasi kinerja keuangan haji dan cepat tanggap ketika muncul isu miring seputar penggunaan dana haji. “Percakapan yang berisik” ini merupakan salah satu komponen utama dalam demokrasi yang harus dijaga ruangnya oleh Negara. Misalnya ketika mencuat isu dana haji digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pengawasan dari masyarakat dalam bentuk percakapan di media sosial membuat Pemerintah dan BPKII sibuk melakukan sosialisasi dan klarifikasi, yang membuat mereka tentu lebih berhati-hati lagi dalam mengelola keuangan haji karena merasa diawasi oleh masyarakat.

Peran serta masyarakat juga dibutuhkan dalam konteks evaluasi penyelenggaraan haji. Misalnya MUI, tentu ada anggota-anggotanya yang berangkat haji di tahun berjalan. Mereka yang baru pulang haji tersebut bisa menyampaikan evaluasi soal bagaimana perjalanan haji tahun ini, apakah barang-barang yang disiapkan Pemerintah sesuai speknya, apakah layanan yang diterima selama di Arab Saudi sesuai dengan harga yang dibayarkan. Beragam evaluasi tersebut kemudian bisa disalurkan kepada kami di DPR-RI untuk kemudian dibawa sebagai bahan pada saat nanti melakukan rapat kerja evaluasi penyelenggaraan haji dengan Pemerintah/Menteri Agama. Dengan adanya evaluasi yang bersumber langsung dari masyarakat jamaah haji, maka tentu diharapkan penyelenggaraan haji di tahun tahun berikutnya menjadi lebih baik dan lebih efisien, dan dengan perbaikanperbaikan tersebut maka keuangan haji diharapkan bisa lebih berkelanjutan.

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami pentingnya keberlanjutan dalam hal pengelolaan keuangan haji, yakni lanjutnya usia dan lamanya masa tunggu calon jamaah. Keuangan haji yang berkelanjutan akan rmernastikan bahwa ketika calon jamaah sudah sampai pada waktu keberangkatannya, dana haji tersedia untuk membiaya perjalanan mereka. Untuk itu perlu dilakukan beberapa strategi. Pertama, memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan haji. Kedua, meningkatkan capaian nilai manfaat keuangan haji. Ketiga, pembahasan reformasi kelembagaan pengelolaan dan keuangan haji. Dan keempat, adanya peran serta dari masyarakat untuk turut mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan haji.

Tentu jika Pemerintah dan BPKH bisa amanah dalam menyelenggarakan dan mengelola keuangan haji, maka para jamaah dan calon jamaah haji akan dimudahkan dalam keberangkatannya, dan mereka akan semakin terdorong untuk mendoakan kebaikan bagi bangsa dan negara di waktu-waktu mustajab perjalanan hajinya. (Wan)

Share the Post:

Related Posts