Oleh : Zulfahmi Yasir Yunan ( Ketua Pemuda Muhammadiyah DKI Jakarta )

Ada cerita tentang seorang wanita tua di kota Mekah pada masa Rasulullah yang pekerjaannya adalah memintal benang.

Dia bekerja bersama anak buahnya untuk memintal benang menjadi kain dan kemudian sampai menjadi pakaian.

Namun, wanita ini punya masalah dengan akalnya. Mulai dari pagi sampai siang, dia dan anak buahnya bekerja keras memintal benang hingga menjadi kuat dan terbentuk menjadi sehelai kain dan menjadi pakaian.

Namun, setelah siang hari tiba, dia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk membuka kembali tenunan tersebut sehingga menjadi kusut dan rusak. Pola perilakunya seperti itu hampir terjadi setiap hari.

kejadian ini kemudian dijadikan Allah sebagai perumpamaan dalam FirmanNya:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا…

Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…”. (QS An Nahl: 92).

Perumpamaan ini menggambarkan situasi di mana individu yang telah bersumpah dengan kuat di hadapan Allah, namun pada akhirnya mereka melanggar janji tersebut. Tindakan ini jelas merupakan sia-sia.

Selain itu, contoh ini juga relevan bagi seseorang yang telah dengan gigih melakukan pekerjaan yang baik dan positif, hanya untuk kemudian merusaknya sendiri. Akibatnya, semua upaya tersebut menjadi tidak berarti.

Seorang yang beriman pasti akan menghadapi berbagai rintangan dan godaan saat menjalankan ibadah dan amal yang baik. Proses ini membutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan kesabaran yang besar.

Oleh karena itu, mereka akan sangat berhati-hati dalam menjaga dan merawat amal baik mereka agar berkelanjutan, istiqomah dengan harapan mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat di hadapan Allah.

Para ulama dan orang-orang shaleh pendahulu kita, mereka sangat khawatir terhadap amal shaleh mereka. Khawatir jika tidak diterima oleh Allah. Dan ini Allah isyaratkan dalam Firmannya Q.S Al mu’minun ayat 60:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Artinya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. (QS Al Mu’minun: 60).

Dan Aisyah ra. pernah bertanya kepada Baginda Nabi saw tentang ayat ini: “Apakah orang yang takut bertemu dengan Allah itu orang-orang yang minum tuak dan para pencuri?”. Rasulullah saw menjawab:

Artinya: “Bukan begitu wahai anak perempuan Abu Bakar Shiddiq. Mereka itu adalah orang-orang yang puasa, shalat dan bersedekah. Tetapi mereka takut/khawatir amalan mereka tidak diterima oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.” (HR At Tirmidzi).

Inilah sikap orang-orang yang berbuat baik. Mereka terus mendorong diri mereka menuju kebaikan, namun mereka juga memiliki kekhawatiran bahwa amal baik mereka mungkin tidak diterima.

Bahkan, banyak dari mereka yang memilih untuk menyembunyikan amal baik mereka agar tetap terjaga dan terlindungi. Mereka khawatir jika terlalu banyak orang yang mengetahui, hal itu dapat mengancam keberlangsungan amal baik mereka.

Imam Abdullah Ibnul Mubaarak, seorang ulama senior di abad ke dua hijriah (118 – 181 H). Ulama yang sekaligus juga Mujahid. Murid dari Abu Hanifah, Beliau adalah pakar dan rujukan dalam Fiqh, hadits dan Tarikh. Beliau menceritakan tentang keshalehan seorang budak di kota Mekkah.

Ketika itu Mekkah dilanda musim kemarau dan kekeringan. Sudah banyak orang yang berdoa meminta hujan. Namun hujan tak kunjung datang.

Ada hal yang menarik, Malam menjelang shubuh, Ibnul Mubaarak shalat tahajjud di Masjidil Haram. Persis di depan Beliau ada seorang budak hitam tengah bermunajad kepada Allah, “Ya Allah… Orang-orang telah bedoa kepadaMu. Tapi hujan belum turun. Aku bersumpah atasMu, turunkanlah hujan kepada mereka, saat ini juga…. saat ini juga…”.

Abdullah ibbnul Mubarak menyatakan, “Budak itu masih mengatakan “saat ini juga”, langsung awan berkumpul di atas masjid, dan hujanpun turun.”

Selepas shalat shubuh Ibnul Mubarak berusaha menguntit budak tadi pulang ke rumahnya. Setelah tahu dimana rumahnya, Beliau kembali ke masjid untuk berdzikir sampai dhuha. Setelah shalat dhuha Beliau menuju rumah budak hitam tadi. Ketika sampai di rumahnya, tuannya keluar menyambut Ibnul Mubarak.

Ibnul Mubarak menyampaikan bahwa dia ingin membeli budaknya. Tuannya itu bertanya, “Budak yang mana? Saya punya 20 orang budak”. Setelah dipanggil satu persatu, muncullah budak yang dimaksud.

Ibnul Mubarak membelinya dengan harga 14 dinar emas, lalu dibawanya pulang. Sesampai di rumah, budak tersebut duduk bersandar dan bertanya, “Untuk apa engkau perbuat ini semua?”. Beliau menjawab, “Bukankan engkau yang semalam berdoa, lalu langsung turun hujan?”. Ibnul Mubarak ingin mengetahui apa rahasia amal shaleh budak tersebut hingga doanya mustajab dengan cepat.

Tapi budak itu langsung emosi. Ia tidak ingin ketahuan tentang amal shalehnya. Ia menginginkan itu tetap rahasia antara dia dengan Allah. Budak itupun langsung berdoa kepada Allah, “Ya Allah, karena Engkau telah singkap tentang diriku, maka wafatkanlah aku…”, Budak itu langsung tersungkur sujud dan wafat seketika. (Dari karya Imam Ibnul Jauzi: Shifatush Shafwah).

Begitulah sedikit kisah tentang orang shaleh yang bisa kita jadikan banyak Pelajaran berharga.

Mereka mengawal dan menjaga amal shaleh mereka. Jangankan akan merusaknya, untuk sekedar ketahuan saja sudah mereka minimalisir dan hindarkan.

Semoga Ramadhan ini, kita isi dengan berbagai amal shaleh dan ibadah, seperti: puasa, shalat berjamaah, shalat-shalat malam, bersedekah, tilawah Al Quran dan lain-lain. Tentunya kita tidak ingin menjadi “wanita pemintal benang”. Sudah letih dan capek dia pintal dan menjadi selembar kain kemudian dia rusak Kembali.

Begitu juga dengan amalan kebaikan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, jangan kemudian dirusak sendiri dengan berbuat yang sia-sia yang akan merusak Tabungan amal yang telah kita rajut selama Ramadhan ini. Tentu ini sangat   sia-sia.

Bila Baginda Rasul saw hanya sekali saja tidak qiyamullail dalam hidupnya (yaitu ketika sakit menjelang wafatnya), maka kita jangan sampai terbalik, hanya sekali di ramadhan saja qiyamullailnya.

Bila orang-orang shaleh pendahulu kita, mayoritas perjalanan hidup mereka adalah kebaikan, maka kita jangan sampai terbalik, hanya di ramadhan saja menjadi “orang baik”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *